Rabu, 12 Juni 2013

Cerpen – The First Sight



            Aku harus mendapatkannya, pikir Hanif tanpa berfikiran lebih panjang. Perasaan itu tiba-tiba muncul dan begitu kuat, padahal dia baru sekali melihat perempuan itu. Itu juga dari jarak lebih dari 50 meter saat perempuan itu melewati tepi lapangan basket dengan kedua temannya.            
            Hanif terpesona memandangi perempuan itu, sampai Agung yang duduk di sebelah nya menyentuh pundaknya.
            “Tajam banget tatapan lo.”
            Hanif menoleh, melihat Agung sejenak dengan alis yang tebal berkerut, lalu kembali memandangi anak baru itu yang semakin menjauh dari tempat Hanif berada. “Boleh juga tuh anak…”
            “Yang mana?”
            “Itu yang pake jaket merah. Anak baru, kan?”
            “Ooh yang itu…. Iya anak baru. Tapi agak berat nip, kalau lo naksir, lo harus cepat ngejar dia nya.”
            Hanif menatap Agung dengan penuh kebingungan dan kerut di alis nya makin dalam. “Kenapa emang?”
            “Yaa, denger-denger udah banyak banget yang ngincer dia.”
            “Lho, tau darimana lo?”
            “Ya tau lahh, orang yang demen sama dia gue,” Ucap Agung dengan penuh ketawa.
            “Nggak boleh lah! Gue yang liat dia duluan! Tapi yaudahlah, gampang bersaing sama lo mah, Maksud lo berat, saingan gue berat, gitu?”
            “Hahaha bercanda woy. Ya kalau gue sih berat…” Agung tertawa lagi. Tiba-tiba tawa nya berhenti dan sikap nya menjadi serius. “Maksud gue, cewek tuh kalau udah tau banyak suka pasti jual mahal lah. Ya nggak sih?”
            “Ah, bodo amat. Gue pasti bisa dapetin dia!” ucap Hanif dengan penuh percaya diri. “Gue justru nyari nya yang jual mahal, nggak suka gue yang murahan. Haha.”
            Dengan penuh percaaya diri, Hanif pergi ke kantin menuju anak baru dan kedua temannya. Dia melihat perempuan itu ada tengah-tengah keramaian kantin. Tempat itu terlalu ramai dan tampak nya tak ada kesempatan buat Hanif untuk menarik perhatian cewek itu. Jadi Hanif memutuskan untuk menunda pedekate-nya.

Y

            “Sand, ada yang kirim salam tuh buat kamu,” kata Dina ketika Sandra baru saja duduk di bangkunya pagi itu.
            “Masa? Tapi bosen ah!” sahut Sandra dengan sedikit kesal. Bukan pura-pura, tapi emang kata-kata itu membosankannya. Belum genap sebulam Sandra bersekolah disini udah entah berapa salam yang diterimanya. Ia sadar memang dirinya cantik, tapi kenapa cowok-cowok mesti bersikap seperti itu. Norak banget! Gerutu nya di hati tiap kali menerima gangguan seperti itu. Ya, gangguan, itu memang terasa jadi gangguan untuknya.
            “Jangan kesel dulu lah, Sand. Yang titip salam sama kamu tuh si Hanif,” kata Dina dengan penuh antusias.
            Hanif? Siapa pula itu? Sandra melirik Dina sekilas, tanpa keinginan untuk bertanya dan menyibukkan diri menyusun buku paket bahasa Inggris di atas mejanya.
            “Kamu udah tau Hanif, belum?” Dina mulai penjelasannya dengan memajukan wajah nya ke depan Sandra.
            Sandra menggeleng, tanpa menunjukan rasa ingin tau.
            “Dia tuh cowok paling TOP di sekolah. Paling kece, paling keren, paling jago music, paling athletic¸paling…”
            “Udah ah! Aku nggak mau tau, Naaa. Nggak ada urusannya sama aku!” Sandra memutus ucapan Dina dengan tidak sabar.
            Dina menarik wajahnya. “Kamu memang cewek teraneh yang pernah aku temuin. Kalau kamu nolak cowok yang lain, aku masih bisa ngerti. Lah Hanif?? Kayak nya cewek di satu sekolah ini nggak bakal ada yang nolak kalau di taksir sama Hanif. Malah banyak tuh yang terang-terangan ngedeketin dia, tapi ya gituu… ditolah. Haha. Anyways, lanjut. Tapi kamu tuhh…” Dina menggelengkan kepalanya, seolah menyesali sikap Sandra.
            “Serius nih jadi nya nggak mau balas salam dia?
            Sandra hanya menggerekan bahu nya untuk menunjukkan ketidakpeduliannya, Dan merasa lega saat Pa Yono, guru bahasa Inggris, masuk kelas.
           
Y

            Malam itu Hanif resah di kamarnya. Nggak bisa tidur. Bayang-bayang Sandra melintas terus di pikirannya. Dan berita yang di bawa Dina, bahwa Sandra tidak membalas salam nya – bahkan meremehkannya – membuat nya kecewa sekaligus marah.
            Sombong! Dia kira di siapa?! Dia anggap gue apa?! Gerutuan itu berulang-ulang kali bergema di hati dan pikirannya. Dan rasa penasaran yang sangat menggelisahkan. Apa rugi nya sih membalas salamnya, menyambut tanganya untuk berkenalan, untuk berteman? Soal kelajutannya juga kan urusan lain, bukan?
            Apa yang harus gue lakuin? Pikiran Hanif terus berputar-putar tanpa menemukan satu pun keputusan yang memuaskan.
            Namun, lewat tengah malam, sebuah kesadaran muncul dan membuatnya tertegun. Hanif teringat dengan sikap nya selama ini. Bukankah ia sendiri juga selalu menganggap remeh dan tak membalas salam dari cewek-cewek yang mencoba mencari perhatiannya? Ya, Hanif tersadar, pasti seperti ini jugalah perasaan mereka terhadap perlakuannya.
            Sombong dan melukai hati, begitukah sikap nya selama ini? Hanif tidak pernah ingin mengakui itu. Ia ingat bagaimana omelannya Agung menyalahkannya telah berlagak angkuh.
            “Gue nggak suka mainin perasaan orang, Gung. Kalau gue tanggepin, kesannya kan kayak gue ngasih harapan padahal gue nggak ada feeling buat dia sama sekali. Kasian dia nya juga, kan?”
            Iya sih, masuk akal dan terkesan rendah hati. Tapi ya sebenarnya, karena salam itu datangnya dari orang yang tidak disukainya. Padahal, apa nggak ada cara yang lebih baik, yang nggak menyakiti hati? Apa salahnya menanggapi dengan baik, menerima uluran pertemanan itu dengan ramah – sekedar berteman – dan kemudian dengan halus menyingkirkan harapan-harapan yang berlebihan di hati mereka?
            Sekarang gue merasakan sendiri betapa tak menyenangkan perlakuan seperti itu, pikir Hanif di akhir perenungan yang melelahkan itu.

Y

            Bel istirahat bordering, guru keluar dan Sandra memasukan bukunya kedalam tas. Di sebelah nya, Dina menghela nafas kuat-kuat seolah baru terlepas dari beban yang berat.
            “Kita ke perpus dulu ya, Na.”
            “Lho kok nggak ke kantin dulu?” Dina menunjukkan wajah yang kebingungan dan menderita mendengar ajakannya itu. Dia muak melihat buku 3 jam berturut-turut dan perut nya sudah meraung-raung daritadi.
            “Sebentaaar aja, kalau nanti takut udah rame Na.”
            “Lagi perlu banget sih sama buku..” Gerutu Dina.
            “Besok libur, taaau! Aku perlu bacaan di rumah.”
            Mereka ke perpus bersama tanpa tergesa-gesa. Saat melewati lapangan basket, langkah Dina terhenti dan matanya berputar mencari-cari.
            Sandra terpaksa ikut berhenti dan ikut mencari-cari dengan tak sabar, “nyari siapa sih??”
            Dina tak menjawab, memutar pemandangannya sekali lagi, terus meneruskan langkahnya. “Nyari si Hanif. Kemana ya dia?”
            Ah Hanif lagi… Sandra mengeluh dalam hati. Sudah berulang kali Dina mencoba untuk nyomblangin dia sama Hanif padahal dia sudah menunjukkan ketidaktertarikannya.
            “Biasa nya dia main basket deh,” Kata Dina lagi seolah kecewa, “Aku rasa, dia kecewa sama kamu.”
            “Lah kenapa jadi aku?” Sandra heran sungguhan mendengar tuduhan itu.
            “Iyalah. Kamu kan nolak salam dia, nggak mau kenalan sama dia. Lagi pula, siapa sih cewek di sekolah ini yang mau nolak dia? Aneh banget kamu ini.”
            “Eh, itu hak aku doong. Kalau aku nggak tertarik—“
            “Kamu belum bisa bilang kamu nggak tertarik. Ketemu dia aja belum! Kenalan aja belum! Dia tuh kece parah, terus… –“
            “Emang kalau kece kenapa? Kalau kepribadiannya jelek? Ya kan sama aja?”
            “Ya itu karena belum kenalan sama dia Sandraaa sahabat ku tersayang!”
            Sandra menatap Dina dengan wajah heran, “Kok jadi kamu sih yang jadi penasaran?”
            “Soalnya…” Dina terdiam, tak punya alasan yang jelas. “Ya… aku senang aja kalau kamu jadian sama dia. Ikut bangga gitu kalau sobat ku punya pacar seperti dia.”
            “Yaampun Dinaaa, nggak segitunya juga.” Ucap Sandra terharu lalu memeluk sahabat nya itu. “Yauda mana Hanif nya deh? I’ll try¸aku Cuma bilang ‘coba’ lho yaa, aku nggak bisa janji apa-apa.”
            Kegembiraan itu lalu muncul di mata Dina. Dina langsung memeluk balik sahabat nya dengan erat, “Makasihhh, ayo makanya kita ke kantin. Aku ada feeling dia pasti ada disana!”
            “Hmm, kamu aja deh ya yang ke kantin, bilang apa kek gitu. Aku ngerasa agak jahat gimanaaa gitu udah nolak dia, masa aku tiba-tiba muncul sih?” Kata Sandra dengan penuh keraguan.
            “Mhhm, nggak perlu ngerasa nggak enak kok,” ucap seorang cowok dengan suara nya yang dalam.
            Sandra dan Dina langsung terkejut dan menoleh ketika mendengar itu. Pikiran mereka berdua sama, tepat di belakang mereka ada cowok tinggi, putih, rambut kecokelatan, alis tebal dengan pakaian seragam nya yang agak berantakkan, tetapi itu yang membuat dia kece dan membuat cewek meleleh. Yap, daritadi Hanif mendengarkan perbincangan mereka. Dan di saat itu lah, di pertama kali Sandra melihat Hanif, dia jatuh hati sama Hanif.

Y

Mereka mulai dekat. Cewek-cewek yang mendengar berita itu langsung panas dan mencari-cari tau siapa cewek itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar